Wednesday, September 27, 2017

Pungutan Isi Ulang Uang Elektronik

Pungutan Isi Ulang Uang Elektronik

kumpulanupdateberita - "I Am #LessCashSociety." Sudah tiga tahun, tepatnya 14 Agustus 2014 silam, slogan ini dikampanyekan Bank Indonesia (BI). Tujuannya sederhana. Mengajak masyarakat beralih menggunakan nontunai. Semua sudah dipermudah. Cukup bawa satu kartu saja. Kampanye ini semakin dikenal, melalui program pemerintah Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT).
Hasil kampanye tiap tahun cukup berhasil. Tiap tahun jumlah uang elektronik beredar meningkat. Hingga Agustus 2017, tercatat sudah mencapai 68,84 juta. Kenaikan ini drastis. Bila dibanding pertama kali diperkenalkan ke publik tahun 2010 lalu. Kala itu hanya jumlah uang elektronik beredar hanya mencapai 7,91 juta. Sedangkan pertumbuhan pada tahun 2014, juga melesat bila dibandingkan tahun pertama. Pertumbuhan mencapai lebih kurang lima kali lipat atau 35,73 juta.

Program nontunai semakin dikenal. Tetapi BI baru mengeluarkan aturan. Terutama terkait pengaturan uang tambahan isi ulang uang elektronik. Melalui Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/10/PADG/2017 tanggal 20 September 2017. Aturan ini mengenai Gerbang Pembayaran Nasional/National Payment Gateway (PADG GPN). Melalui beleid tersebut bank sentral mengatur skema hingga biaya isi ulang.

Selama ini tidak bisa dipungkiri, aturan biaya tambahan belum jelas. Para perusahaan pemilik fasilitas uang elektronik seenaknya membebani nasabah maupun konsumennya. Jumlahnya tidak merata. Namun, aturan itu baru bisa berlaku setelah sebulan diterbitkan.

Pungutan isi ulang uang elektronik sebelum aturan BI keluar, masih sangat beragam. Misalnya, di halte TransJakarta memungut biaya Rp 2.000 untuk mengisi ulang e-money. Namun gratis jika menggunakan kartu debit. Kemudian, isi ulang di Alfamart dan Indomart dikenakan biaya Rp 1.000. Tak hanya itu, isi ulang di ATM berbeda bank malah dikenakan biaya Rp 6.500 atau biaya transfer.

Beleid ini akhirnya diterbitkan. Tidak ada penghapusan uang tambahan. Bank sentral justru mengatur nominal uang tambahan. Semua disamakan. Pengisian ulang melalui mitra akan dikenakan biaya maksimal sebesar Rp 1.500. Pemilik uang elektronik gratis bila mengisi di tempat sesuai kartunya. Sayangnya masih dikenakan uang tambahan.

Dalam aturan ini, setiap pengisian ulang di bank penerbit sampai dengan Rp 200.000 tidak dikenakan biaya alias gratis. Namun, jika mengisi uang elektronik di atas Rp 200.000 maka dikenakan biaya maksimal Rp 750.

Kepala Pusat Program Transformasi BI, Onny Widjanarko, berdalih kehadiran aturan ini justru membuat konsumen semakin terlindungi. Meskipun harus diakui tetap dikenakan uang tambahan. "Kalau enggak (diatur) nanti enggak seragam lagi. Contohnya top up-nya di sini kena biaya Rp 1.000, di sana Rp 2.000, lewat ATM Rp 6.500. Nah kita ingin lindungi masyarakat," ucap Onny, pekan lalu.

Pungutan Isi Ulang Uang Elektronik

Kebijakan skema harga ditetapkan BI berdasarkan mekanisme batas atas (ceiling price). Ini bertujuan untuk memastikan perlindungan konsumen dan pemenuhan terhadap tiap prinsip kompetisi. Di antaranya, sehat, perluasan akseptasi, efisiensi, layanan dan inovasi.

Meski begitu, BI menjamin keamanan bertransaksi menggunakan uang elektronik lebih baik dibanting uang tunai. Manfaat selanjutnya, pencatatan transaksi secara otomatis sehingga memudahkan dalam menghitung aktivitas ekonomi. Ini diharapkan dapat mencegah kegiatan ekonomi legal melalui tunai.

Fasilitas ini juga bukan hanya dalam bentuk kartu. Bahkan sudah melalui ponsel pintar. Inovasi ini dilatarbelakangi dengan jumlah pengguna telepon genggam dan internet di Indonesia. Setiap tahunnya meningkat.

Mereka mencatat hampir setengah dari total jumlah pengguna internet berusia 18 tahun hingga 25 tahun. Sehingga generasi itu diharapkan menjadi garda terdepan dalam perubahan sikap sehingga dapat menciptakan komunitas Less Cash Society di lingkungan sekitarnya.

Penambahan biaya ini tetap mendapat kritik. BI dianggap bertentangan dengan konsep awal uang elektronik. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) melihat, bank sentral seharusnya mengapresiasi masyarakat pengguna uang elektronik. Sehingga tidak harus dibebankan uang tambahan. Masyarakat pengguna seharusnya mendapatkan bonus.

Sebab, dengan uang elektronik akan membuat biaya cetak uang menjadi turun. Nah, biaya itu bisa dikonversikan BI untuk membeli atau merawat infrastruktur layanan non tunai.

"Dengan adanya cash less ini pencetakan yang juga menjadi turun," jela Ketua YLKI, Tulus Abadi kepada merdeka.com, pekan lalu.

Bank sentral memang punya pandangan sendiri soal masalah ini. Tetap membebankan biaya tambahan isi ulang mempertimbangkan kemampuan, keamanan serta kenyamanan masyarakat.

Kondisi tersebut justru dipandang YLKI terbalik. Mereka merasa pertumbuhan pengguna uang elektronik berjalan lambat. Adanya penambahan dalam pengisian ulang saldo menjadi salah satu penyebab. Padahal konsep nontunai ini dinilai langkah baik dalam perekonomian nasional.

Untuk itu, kata Tulus, sudah seharusnya masyarakat pengguna uang elektronik harus diuntungkan. "Berkembang ya tapi lambat sekali tumbuhnya. Harapan kita kalau tumbuhnya cepat, penggunanya banyak, top up mudah saya rasa yang pertama itu masyarakat diuntungkan," jelas Tulus meminta BI semakin perbaiki program ini.

sumber : merdeka

Perbedaan Asuransi Kendaraan TLO dan Komprehensif

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.